Pendidikan Religiositas

Definisi Pendidikan Religiositas.
Ide awal munculnya Pendidikan Religiositas, dikemukakan oleh Romo Mangunwijaya sekitar tahun 1982. Ia memunculkan ide yang menggelitik dunia pendidikan dala, rangka mencerdaskan anak bangsa. Menurutnya pendidikan jangan hanya menciptakan anak yang pandai secara intelektual karena proses penularan ilmu semata, tetapi lebih mengarah pada upaya untuk menumbuhkembangkan sikap dan semangat religious yang terbuka bagi anak didik. Hal ini  diuraikan dalam bukunya yang berjudul ‘menumbuhkan sikap religious anak-anak’ sebagaimana yang dikutip oleh Joko Warmanto dkk dalam buku pendidikan Religiositas.
            Dengan semangat religious yang terbuka, anak didik tidak lagi hidup terkurung dalam jalan pikirannya sendiri, berdasarkan agama dan kepercayaannya sehingga begitu mudah meremehkan tean yang beragama dan berkepercayaan lain. Sikap religious terbuka, yakni dengan cara hidup bersama sebagai saudara degan teman yang berbeda agama dan kepercayaan di sekolah serta mengkomunikasikan imannya dengan terbuka dan dengan penuh ketulusan hati. Berdasarkan pemahaman tersbut, komunikasi iman akhirnya ditempatkan dalam kerangka pendidikan religiositas di sekolah-sekolah Katolik yang berada di wilayah Keuskupan Semarang.
            Romo Mangunwijaya berpendapat bahwa religiositas tidak identik sama dengan agama. Agama menunjukan pada lembaga kebaktian Allah atau ‘dunia atas’ yang resmi dan yuridis, melalui peraturan dan hokum, keseluruhan organisasi tafsir kitab-kitab keramat, dan berbagai hal yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (gegsellschaft). Sedangkan religiositas lebih melihat pada segala sesuatu yang ada dalam lubuk hati, getaran hati nurani pribadi serta sikap personal yang menjadi misteri bagi orang lain karena menapaskan intimasi jiwa, yaitu cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman isi pribadi manusia. Religiositas lebih dalam dari pada agama karena bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft)  yang lebih intim.
            Adapun Romo Mangunwijaya membedakan pengertian agama, iman dan takwa, dan religiositas, dimana ‘orang beragama seharusnya mendasarkan hidupnya pada iman meski yang terjadi adalah orang mengaku beragama, namun belum tentu orang beriman yang baik, padahal orang beragama yang taat seharusnya adalah orang yang beriman mendalam. Dengan menganut suatu agama, orang berusaha menjalin hubungan mesra degan Allah yang dsyat (tremendum) dan sekaligus memesona (fasconosum)’
            Romo Mangunwijaya pun mengegaskan bahwa agama penting, tetapi bukan tujuan karena agama menjadi jalan dan wahana agar sampai pada iman. Penegasan ini dapat ditempatkan dalam kerangka piker Pendidikan Religiositas bagi anak-anak didik di sekolah-sekolah Katolik yang berbeda adama dan kepercayaan. Pendidikan religiositas harusnya menjadi utama dan pertama karena menagajak peserta didik sampai kepada ketaatan untuk melaksanakanperintah Allah, menjadi refleksi atas perasaan, keinginan, harapan, dan pengakuan kepada Allah secara total. Bukan hanya peraturan dan hokum yang berbicara, tetapo lebih kepada keikhlasan, dan kepasraan diri kepada Allah. Pendidikan Religiositas juga mengajak anak didik sampai pada kedalaman rasa kepada Allah melalui semangat berbagi pengalaman hidup berdasarkan kemajemukan tradisi agama dan kepercayaaan anak didik. Dalam Pendidikan Religiositas ini, yang muncul adalah dialog yang mengubah hidup (tranformatif). Bukan dialog agama yang beriskap membela ajaran (apologi).
            Sedangkan kata religiositas merupakan sebuah rasa dimensi kedalaman tertentu yang menyentuh emosi dan jiwa manusia, atau rasa makna hidup. Kata ini berasal dari kata religius yang merupakan terjemahan dari kata latin religious yang merupakan kata sifat dari kata benda religio. Dalam kata ini terdapat tiga unsure yaitu sebagai berikut:
  1. Unsur memilih kembali sesuatu yang sebetullnya suda ada tetapi dengan berjalannya waktu menjadi terlupakan.
  2. Unsur mengikat dari kembali pada sesuatu yang dapat dipercayadan diandalkan, yang sebelumna sudah ada tetapi telah putus atau tidak disadari.
  3. Sesudah memilih kembali dan mengikat diri, manusia terus-menerus berpaling kepada sesuatu itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengalaman religious adalah pengatahuan manusia akan ‘sesuatu’ yang ada di luar dirinya, Yang Transenden, Yang Ilahi, yang diperoleh secara langsung melalui hubungan sdar antara dirinya dan ‘sesuatu’ yang lain, Yang Transenden, Yang Ilahi itu dakam bahasa agama Allah atau Tuhan.
            Pendidikan Religiositas merupakan salah satu bentuk komunikasi iman, baik antar peserta didik yang seagama dan kepercayaan maupun siswa yang berbeda agama dan kepercayaan agar membantu peserta didik menjadi manusia yang religious, bermoral, terbuka, dan mampu menjadi pelaku perubahan social demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera lahir dari batin, berdasarkan nilai-nilai universal seperti kasih, kerukunan, kedamaian, kejujuran, perngorbanan, kepedulian dan persaudaraan.
2.2.1 Fungsi dan Tujuan Pendidikan Religioitas
            Adapaun fungsi Pendidikan Religiositas adalah, Pertama, mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional dengan mengedepankan kesatuan dan persatuan bangsa yang di semangati oleh persaudaraan sejati. Kedua, mendukung agama-agama dan kepercayaan dalam mengemban tugas untuk mewartakan Firman Tuhan dan mewujudkan dalam hidup bernegara dan memasyarakatan. Ketiga,  mendukung keluarga-keluarga dalam mengembangkan sikap religiositas peserta didik yang sudah mereka miliki dari keluarga masing-masing, agar semakin menjadi manusia yang religious, bermoral, dan terbuka. Keempat, mendukung peserta didik dalam membangun komunitas manusiawi dinamis melalui kegiatan komunikasi pengalaman iman.
            Sedangkan Tujuan Pendidikan Religiositas di sekolah adalah: pertama, menumbuhkembangan sikap batin peserta didik agar mampu melihat kebaikan Tuhan dalam diri sendiri, sesame, dan lingkungan hidupnya sehingga memiliki kepedulian dalam hidup bermasyarakat. Kedua,  membantu peserta didik menemukan dan mewujudkan nilai-nilai universal yang  diperjuangkan semua agama dan kepercayaan. Ketiga, menumbuhkembangkan kerja sama lintas agama dan kepercayaan dengan semangat persaudaraan sejati.

Pendidikan Religiositas sendiri mempergunakan Pendekatan Pedagogi Refleksi (PPR) sebagai proses pembelajarannya, dimana refleksi siswa menjadi muara yang penting untuk kompetensi dan evaluasi belajar. Melalui PPR siswa berupaya memberikan refleksinya dalam penerapan model pendekatan apapun, baik tertulis, dalam bentuk berbagi pengalaman, pengolahan pengalaman langsung dengan keterlibatan, pendekatan ekspresi pengungkapan refleksi melalui seni, dan masih banyak hal yang dapat dimungkinkan.
Pada prinsipnya, baik Pendidikan Agama pada umumnya maupun Pendidikan Religiositas sama saja. Kedua pembelajaran itu bertujuan meningkatkan iman dan takwa bagi siswa yang mempelajarinya. Namun, ada satu perbedaan prinsip yang membedakan kedua pembelajaran itu, yakni pendidikan agama yang dikenal sehari-hari hanya berkutat pada dogma dan nilai-nilai kebenaran agama itu sendiri, sementara Pendidikan Religiositas bicara lebih luas, ingin merangkum kesamaan nilai-nilai universal setiap agama. Prinsip yang dipakai: cintailah Tuhanmu sesuai agamamu.
Materi pembelajaran Pendidikan Religiositas tidak hanya berkutat membahas hubungan antara manusia dan Tuhan. Namun, lebih dari itu, juga mengupas permasalahan anak manusia pada umumnya. Mulai manusia sebagai makhluk sosial, hubungan dengan lawan jenis, hubungan manusia dengan alam lingkungan, sampai manusia berhadapan dengan hukum agama.
Melalui Pendidikan Religiositas ini, kontruksi cara berpikir seorang subyek didik diajak kepada pemahaman akan pluralitas dan kemanusian yang mendalam. Hal ini membawa kepada sebuah tretament positif bagi perkembangan kepercayaan eksistensial subyek didik, bahwa subyek didik dihadapkan pada banyak pilihan dan kemajemukan autoritas nilai yang harus ia pahami bukan tertutup, melainkan menyentuh aspeknya yang paling hakiki. Kehakikian nilai yang nantinya dianut oleh setiap subyek didik memang berjalan bertahap, dan tak pernah instan. Tetapi jika sesuatu yang hakiki telah mengatasi berbagai pandangan sempit dan diinternalisasi sebagai ultimate concern, maka nilai tersebut akan dianut oleh subyek didik secara menetap dan berlangsung sampai kepada perkembangan yang paling akhir. Proses untuk menemukan ultimate concern pada jenjang perkembangan masa transisi (mis, remaja) memang membutuhkan perhatian yang mendalam dan sangat krusial. Hal itu mengingat bahwa pada masa transisi ini seseorang akan dihadapkan pada religious doubt (keragu-raguan dan kritis untuk mempertanyakan) apa yang ia pakai sebagai nilai autoritas. Maka ketika Pendidikan Religiositas menjadi treatment pada usia transisi ini diharapkan akan membawa kepada pemahaman yang lebih dewasa ketika pemahaman mulai bersifat menetap. Pemahaman itu adalah pemahaman yang utuh dan dewasa mengenai berbagai nilai-nilai kemanusiaan untuk menjadi nilai yang paling ultim, sehingga seseorang akan sampai kepada perkembagan kepercayaan eksistensial yang dewasa.


Pustaka:
Heribertus Joko Warmanto dkk, Pendidikan Religiositas, (jokjakarta: Kanisius, 2009)
Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Semarang,  Silabus Pendidikan Untuk Sekolah Menengah Pertama,  (Jokjakarta: Kanisus, 2005) 

SHARE ON:

Hello guys, I'm Tien Tran, a freelance web designer and Wordpress nerd. Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam, eaque ipsa quae.

    Blogger Comment

1 komentar:

@nuunaRis mengatakan...

skripsi nih eeee
sukses nyong frend :)