PENDIDIKAN RELIGIOSITAS 2
Pengantar
[1]
Pertama,
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi peluang untuk mengenalkan siswa
kepada proses penemuan makna terkait dengan sintesis yang progresif dan koheren
antara pengalaman akan Tuhan/religiositas (fides qua) dan isi pesan
agama/religi (fides quae) melalui pembelajaran aktif di dalam Pendidikan
Religiositas. Pendidikan Religiositas dalam pengembangannya melalui KBK,
menjadi medium bagi upaya peningkatan pendidikan nilai-nilai religiositas yang
lebih progresif. Kita sadari bersama, bahwa melalui KBK, siswa diajak kepada
proses eksplorasi yang signifikan dengan pola-pola tidak terbatas pada lingkup
ruang kelas, melainkan dimungkinkan sampai pengalaman siswa untuk mengenal
hidupnya terkait dengan sosio religius dan sosio kultural yang konkret dan nyata.
Pola pendekatan yang bervariasi dapat dicoba diterapkan dalam kesatuan
pembelajaran. Pendampingan siswa tidak hanya terbatas kepada aspek pengetahuan,
tetapi sampai kepada upaya pemahaman yang bersifat kenousis (menyapa batin) dan
mengembangkan nilai-nilai etis dan moral. Maka ruang kelas tidak menjadi
satu-satunya ruang belajar, melainkan dimungkinkan seluas-luasnya menjangkau
pengalaman hidup sosio religius siswa.
Kedua,
jika dilihat prospek kedepannya, paradigma KBK memberikan kesempatan yang luas
bagi Pendidikan Religiositas untuk berkembang di sekolah. KBK memberikan
kesempatan bagi guru dan siswa berinteraksi secara partisipatif dan utuh, baik
dalam proses pembelajaran dan evaluasinya. Pendidikan Religiositas sendiri
mempergunakan Paradigma Pedagogi Refleksi (PPR) sebagai proses pembelajarannya,
dimana refleksi siswa menjadi muara yang penting untuk kompetensi dan evaluasi
belajar. KBK melalui evaluasi belajar dengan mempergunakan portofolio menjadi
kesempatan yang luas bagi Pendidikan Religiositas dalam pengembangan PPR nya.
Kesempatan itu didasari bahwa portofolio memungkinkan guru menilai seluruh
kompetensi belajar siswa secara utuh, dan siswa pun berpartisipasi penuh
didalamnya. Melalui PPR siswa berupaya memberikan refleksinya dalam penerapan
model pendekatan apapun, baik tertulis, dalam bentuk berbagi pengalaman,
pengolahan pengalaman langsung dengan keterlibatan, pendekatan ekspresi
pengungkapan refleksi melalui seni, dan masih banyak hal yang dapat
dimungkinkan.
Ketiga, Pendidikan Religiositas merupakan salah satu pendidikan yang mengupayakan treatment positif penyadaran mengenai pluralitas, multikulturalitas budaya dan religi atau agama. Kepentingan ini merupakan wujud dari tujuan pendidikan untuk mengajak siswa sampai kepada kesadaran sikap beragama yang dewasa. Pengembangan pendidikan yang mendasar pada kedewasaan berpikir akan penghargaan kemajemukan religi dan budaya menjadi sangat penting untuk menjadi kompetensi siswa dewasa ini. Begitu juga, Pendidikan Religiositas disamping bertujuan mengembangkan pendidikan akan kesadaran mengenai pluralitas tersebut, juga merupakan pendidikan yang mengajak siswa peka terhadap permasalahan sosial, moral dan budaya disekitarnya. Maka aspek refleksi menjadi bagian penting di dalam pengolahan pembelajarannya. Hal tersebut diupayakan agar siswa mampu mengembangkan kedewasaan berpikir dalam melihat situasi hidup di sekitarnya dan itu sesuai dengan apa yang menjadi visi dan misi dari KBK itu sendiri.
2. Pendidikan Religiositas dan Aktivitas Pembelajaranya dalam KBK [2].
Ketiga, Pendidikan Religiositas merupakan salah satu pendidikan yang mengupayakan treatment positif penyadaran mengenai pluralitas, multikulturalitas budaya dan religi atau agama. Kepentingan ini merupakan wujud dari tujuan pendidikan untuk mengajak siswa sampai kepada kesadaran sikap beragama yang dewasa. Pengembangan pendidikan yang mendasar pada kedewasaan berpikir akan penghargaan kemajemukan religi dan budaya menjadi sangat penting untuk menjadi kompetensi siswa dewasa ini. Begitu juga, Pendidikan Religiositas disamping bertujuan mengembangkan pendidikan akan kesadaran mengenai pluralitas tersebut, juga merupakan pendidikan yang mengajak siswa peka terhadap permasalahan sosial, moral dan budaya disekitarnya. Maka aspek refleksi menjadi bagian penting di dalam pengolahan pembelajarannya. Hal tersebut diupayakan agar siswa mampu mengembangkan kedewasaan berpikir dalam melihat situasi hidup di sekitarnya dan itu sesuai dengan apa yang menjadi visi dan misi dari KBK itu sendiri.
2. Pendidikan Religiositas dan Aktivitas Pembelajaranya dalam KBK [2].
Pendidikan
Religiositas tidak dapat dilepaskan dari komponen proses pembelajaran secara
utuh di sekolah. Untuk itu, berbagai prinsip-prinsip belajar menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan pula. Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam
membangun makna atau pemahaman atas berbagai nilai, pengetahuan dan berbagai
ketrampilan yang harus dikuasai. Oleh karena itu, guru perlu memberikan
motivasi dan menjadi fasilitator siswa untuk memanfaatkan segenap potensinya
dalam membangun gagasan. Dalam konteks itu tanggung jawab belajar ada pada diri
siswa sendiri. Sementara itu, guru bertanggung jawab menciptakan situasi dan
suasana yang mendorong terjadinya prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa
untuk belajar sepanjang hayat.
Prinsip-prinsip yang perlu menjadi usaha Pendidikan Religiositas untuk mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip KBK adalah sebagai berikut:
a. Berpusat pada siswa
Prinsip-prinsip yang perlu menjadi usaha Pendidikan Religiositas untuk mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip KBK adalah sebagai berikut:
a. Berpusat pada siswa
Kegiatan
belajar seharusnya berpusat pada siswa. Siswa menjadi pusat proses belajar
karena berbagai segi yang melatar belakanginya. Pertama, adalah segi
keberagaman siswa. Keragaman tersebut meliputi keberagama kemampuan, bakat,
minat, sikap, maupun latar belakang keluarga. Oleh karena itu kegiatan belajar
hendaknya memperhatian keragaman siswa tersebut melalui berbagai
program-programnya. Kedua, prinsip belajar adalah menggali potensi diri
sendiri. Maka, proses belajar akan berhasil jika siswa termotivasi secara
pribadi, proses belajar harus berpusat pada kesadaran diri siswa sendiri.
Pendidikan Religiositas mencoba mengangkat keberagaman latar belakang agama
siswa di dalam pengolahan pembelajarannya, begitu juga melalui metode refleksi,
siswa diberi kebebasan sebagai subyek belajar untuk mengenali, memahami dan
menginternalisasi suatu nilai dan pengetahuan.
b. Belajar dengan mengalami dan
melakukan
Menurut
berbagai penelitian, proses belajar akan semakin berhasil jika mengemas
pembelajarannya dengan melakukan berbagai hal yang nyata dan konkret. Prinsip
dalam KBK, proses belajar dengan mengalami dan melakukan mendapat porsi yang
tinggi. Artinya para siswa tidak hanya dicekoki atau sekedar transfer dengan
sejumlah informasi melalui metode ceramah, akan tetapi mereka justru ditantang
untuk lebih banyak mempraktekan konsep atau teori dan nilai dalam kegiatan
pembelajaran untuk hidupnnya sehari-hari. Pendidikan Religiositas melalui tahap
pembelajaran pra-aksi dan aksi, ingin mengoptimalkan prinsip belajar siswa
untuk sampai kepada proses mengalami dan melakukan berbagai nilai yang telah
dipelajari.
c. Mengembangkan kemampuan social
Pemahaman
siswa akan lebih mudah jika mereka difasilitasi untuk mengemukakan berbagai
gagasannya terhadap siswa lain dan guru. Melalui langkah seperti ini, interaksi
antara siswa dengan lingkungan sosialnya akan semakin kuat. Oleh karena itu,
metode diskusi, saling bertanya, dan saling menjelaskan akan memupuk kemampuan
siswa mengkomunikasikan gagasannya. Melalui metode tersebut para siswa dilatih
untuk menerima dan menghargai pendapat orang lain serta tidak memaksakan
pendapatnya sendiri. Pendidikan Religiositas melalui diskusi dan sharing
pengalaman, ingin mengajak siswa kepada proses belajar ketrampilan
sosial/interpersonal tersebut. Pada proses itu siswa dihadapkan pada pluralitas
agama dan berbagai kemajemukan karakter rekan sebayanya. Begitu juga ketika
siswa harus dihadapkan pada tugas yang menyangkut aktivitas kelompok dan
pribadi yang berhubungan dengan agamanya, pengalaman kemampuan sosial itu
dikembangkan. Diharapkan dari hal itu semua, siswa belajar untuk menghargai orang
lain bukan dari “kesamaan” melainkan dari kemajemukan.
d. Mengembangkan keingintahuan,
imajinasi, dan fitrah eksistensial.
Rasa
ingin tahu dan imajinasi merupakan modal dasar dari sikap peka, kritis,
mandiri, dan kreatif yang perlu dikembangkan secara optimal dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah. Begitu juga, keinginan akan makna dan pengalaman akan
suatu yang eksistensial merupakan juga keinginan yang mendasar dari setiap
siswa yang juga perlu dikembangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari hakekat keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan. Pendidikan Religiositas merupakan pendidikan yang
menggali secara mendasar unsur-unsur pengalaman keingintahuan, imajinasi dan
fitrah eksistensial tersebut. Unsur keingintahuan tergali dari berbagai upaya
apresiasi melalui berbagai kegiatan kelompok dan diskusi yang dilakukan. Begitu
juga imanjinasi semakin dikembangkan ketika siswa diajak untuk mengekspresikan
segala ide dan gagasan yang ditemukan. Sedangkan fitrah eksistensial,
dikembangkan ketika siswa diajak untuk berefleksi atas berbagai nilai yang
ditemukan.
e. Mengembangkan keterampilan ilmiah.
Ketrampilan
ilmiah perlu dilatih sejak dini, sehingga para siswa akan termotivasi untuk
secara aktif mencari jawaban atas permasalahannya dengan prosedur ilmiah. Dalam
hal ini, kegiatan belajar perlu dipilih dan dirancang agar mampu mendorong dan
melatih siswa untuk mampu mengidentifikasi dan memecahkannya dengan menggunakan
kemampuan kognitif dan meta kognitif. Belajar merupakan proses mengembangkan
ketrampilan ilmiah, dimana siswa diajak untuk berpikir dengan mempergunakan
berbagai logika, analisa dan sintesa. Pendidikan Religiositas disamping
mengembangkan aspek refleksi, mengembangkan juga segi keilmiahan melalui
penalaran logis ketika berdiskusi maupun menyusun tugas.
f. Mengembangkan kreatifitas siswa
Keharusan
untuk mengembangkan kreatifitas siswa, terletak pada prinsip bahwa siswa
memiliki potensi yang berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari pola pikir,
daya imajinasi, fantasi, dan hasil karya siswa. Untuk itu kegiatan belajar
perlu dipilih dan dirancang agar memberikan kesempatan dan kebebasan berkreasi
secara berkesinambungan. Pendidikan Religisoitas melalui berbagai pendekatan
yang bervariasi, diharapkan mampu mengembangkan kreativitas siswa. Metode
ekspresi ide dan gagasan dengan berbagai sarana dapat memperkaya pengembangan
kreatifitas siswa. Begitu juga dengan penugasan yang juga mempergunakan
berbagai sarana presentasi hasil laporan dapat memperkembangkan kreativitas
tersebut.
g. Mengembangkan kemampuan menggunakan
ilmu dan teknologi
Penggunaan
ilmu dan teknologi dalam kehidupan siswa perlu diperkenalkan sejak dini.
Penggunaan perangkat multi media dalam proses pembelajaran, merupakan salah
satu bentuk pengenalan terhadap ilmu dan teknologi, disamping, penggunaan
teknologi tepat guna dalam memberikan contoh dari materi pelajaran yang
disajikan. Melalui Pendidikan Religiositas perlu diupayakan agar siswa diberi
kesempatan untuk mengembangkan berbagai pendekatan dalam proses belajar untuk
mempergunakan tehnologi, misalnnya mengambil bahan diskusi dari internet,
apresiasi film, eskpresi ide melalui film dan lain sebagainya.
h. Menumbuhkan kesadaran pendidikan
berbangsa (civic education)
Kegiatan
belajar perlu memberikan wawasan nilai-nilai moral dan sosial yang dapat
membekali siswa agar menjadi warga negara dan masyarakat yang bertanggung
jawab. Sikap akan kecintaan tanah air, penghargaan akan hak asasi manusia,
kesadaran partisipatif sebagi warga masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
kesadaran akan pluralitas untuk perdamaian menjadi sesuatu yang penting untuk
ditumbuhkan. Pendidikan Religiositas melalui berbagai materi bahasan mengenai
kerukunan umat beragama, hak asasi manusia, keadilan dan perdamaian merupakan
sarana penting untuk mengajak siswa kepada keasadaran itu.
i. Belajar sepanjang hayat
Konsepsi
belajar sepanjang hayat perlu menjadi kesadaran bagi setiap siswa. Maka
kegiatan belajar harus mampu membekali siswa untuk menumbuhkan rasa percaya
diri, keingintahuan, kemampuan memahami orang lain, kemampuan berkomunikasi dan
bekerja sama sehingga mampu mendorong siswa yang bersangkutan terus belajar,
baik formal maupun informal di dalam maupun di luar kelas. Pendidikan
Religiositas, melalui pendekatan refleksi dan aktivitas aksi ingin mengusahakan
suasana proses belajar sepanjang hayat itu. Siswa diajak untuk selalu belajar
dari pengalaman, dari berbagai sarana, dari berbagai kejadian dan peristiwa
hidup, dari orang lain, dari lingkungan, dari tokoh agama dan berbagai hal yang
tidak terbatas pada ruang kelas semata.
j. Perpaduan kemajuan dan prestasi, kerjasama, dan solidaritas
j. Perpaduan kemajuan dan prestasi, kerjasama, dan solidaritas
Proses
belajar yang baik, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
semangat berkompetisi yang sehat untuk memperoleh kemajuan dan prestasi,
semangat bekerjasama dengan orang lain, dan menumbuhkan rasa solidaritas untuk
saling membantu dalam proses saling belajar. Pendidikan Religiositas
mengusahakan upaya itu dengan penugasan, kerja kelompok, dan refleksi.
3. Pendidikan Religiositas dan
kecakapan hidup (life skill) yang dikembangkan.
Dewasa
ini pendidikan diharapkan mengacu kepada prinsip pendidikan berbasis luas
(Broad Based Education). Hal itu dimaksudkan, bahwa penyelenggaraan pendidikan
difokuskan pada kepentingan masyarakat luas. Dalam pilar pendidikan, yaitu
learning to live together. Pendidikan harus mengantar siswa untuk menemukan
masalahnya dan berproses bersama untuk menyelesaikanya. Pendidikan menjadi
interaksi proses belajar yang lebih terintegrasi, dari upaya memetakan masalah
sampai langkah kongkret yang nyata dan berimbas kepada segi demensi laku sosial
budaya. Seorang tokoh Paulo Freire [3] menyatakan bahwa fitrah manusia yang sejati adalah
menjadi pelaku atau subyek, bukanlah penderita atau obyek. Manusia terpanggil
untuk menjadi pelaku yang sadar dan bertindak untuk mengatasi dunia serta
realitas hidupnya. Hakekat manusia adalah mencipta dan memahami keberadaan
dirinya serta lingkungannya. Manusia memiliki kesadaran dan kemampuan untuk
mengubah realitas hidupnya. Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan
realitas kehidupan, baik realitas sosial (obyektif) maupun realitas hidupnya
(subyektif). Maka pendidikan harus mengajak siswa belajar untuk menanggapi dan
menggali masalah bersama. Pendidikan merupakan sebuah wacana hadap masalah,
yang memuat penyadaran dan sampai kepada praksis kehidupan, dialogis dan
emansipatoris untuk memberikan banyak ruang partisipasi aktif siswa.
Pendidikan
harus juga berorientasi pada peningkatan kualitas akademik (High-Based
Education). Maka pendidikan berupaya mengembangkan segala potensi dan
kompetensi siswa Namun, yang perlu menjadi perhatian, bahwa segala potensi
akademik yang dikembangkan merupakan usaha agar siswa nantinya menguasai
kecakapan untuk digunakan bagi hidupnya. Kecakapan hidup atau life skill
merupakan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema
hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara
proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga mampu
mengatasinya. Kecakapan hidup itu merupakan muara dari setiap pembelajaran di
sekolah. Memang, kecakapan hidup itu tidak dapat dilihat dengan waktu yang
relatif singkat, namun dilihat dalam kurun waktu perkembangan seseorang
mencapai kedewasaannya ketika siswa hidup di tengah masyarakat.
Pendidikan
Religiositas mengacu pada konsep pendidikan yang berorientasi pada kecakapan
hidup terkait dengan segi penyadaran pemahaman dan pola pikir atau awareness
skill, walaupun juga tidak meninggalkan kecakapan hidup lain yang penting:
meliputi social skill dan academic skill. Kita sadari bersama, bahwa pendidikan
harus menghantar siswa untuk memahami dan menghargai keberbedaan. Pendidikan
harus menghantar siswa kepada keterbukaan batin untuk saling menghargai tradisi
religi, dan menepis berbagai apologi dan upaya-upaya sovinisme dan fanatisme
yang berlebihan. Pendidikan haruslah membuka kepada berbagai ideologi dan
segala pandangan hidup sebagai keutuhan proses belajar siswa itu sendiri.
Kecakapan
hidup yang dikembangkan di dalam Pendidikan Religiositas meliputi beberapa segi
sebagai berikut:
a.
Pengembangan Personal Skill terkait
dengan awareness skill di dalam pembentukan sikap dan pengalaman beragama yang
inklusif[4].
§
Aspek pembentukan sikap beragama yang dewasa (inklusif) merupakan aspek penting
yang diusahakan di dalam Pendidikan Religiositas. Aspek tersebut merupakan
bagian dari religious consciusness (kesadaran beragama) dan religious
experience (pengalaman beragama). Kesadaran beragama merupakan aspek penting di
dalam pengolahan pembelajaran yang meliputi aspek kognitif (pengertian), dimana
aspek ini meliputi proses untuk memahami sebuah realitas, mengenal, memahami
dan memberi arti atau mempercayai sebuah kontruksi mengenai religi. Maka
kesadaran beragama merupakan sebuah kegiatan yang bersifat terstruktur dan
terorganisasi di dalam aspek mental seseorang. Aspek mental ini meliputi
pengambilan persepektif diri, analisis, pertimbangan moral dan pengkontruksian
diri. Maka Pendidikan Religiositas mengajak subyek didik untuk sampai kepada
kesadaran beragama yang bersifat terbuka, melalui berbagai pengertian,
pemahaman dan pengenalan akan realitas plural.
§
Sedangkan pengalaman beragama yang inklusif, merupakan aspek dari proses
relasional antara diri, orang lain dan nilai-nilai religi yang dikontruksi di
dalam pengalaman kehidupan sehari-hari seseorang yang peka terhadap segala
pluralitas. Pengalaman beragama ini meliputi aspek afeksi dan konasi (kehendak)
yang tidak hanya meliputi dimensi pengertian semata, melainkan sudah memasuki
dimensi keyakinan atau kepercayaan eksistensial mengenai nilai-nilai religi
atau agama yang dianut seseorang. Pengalaman beragama merupakan pengalaman
ultim, dimana di dalamnya terkandung dimensi mendasar mengenai
pengalaman-pengalaman beragama atau yang sering disebut sebagai pengalaman
iman. Untuk itu pengalaman beragama merupakan pengalaman yang dikontruksi oleh
seseorang secara utuh, baik dari segi kognitif, afeksi serta konasinya.
Pengalaman beragama melalui Pendidikan Religiositas haruslah sampai kepada
pengalaman beragama secara terbuka, memungkinkan subyek didik dari aspek afeksi
dan konasi sampai kepada keyakinan akan keterbukaan bermacam-macam latar
belakang religi. Hal ini haruslah dimungkinkan secara serius melalui berbagai
pengalaman perjumpaan dengan berbagai ruang agama untuk berdialog dan bekerja
sama.
b.
Pengembangan Personal Skill terkait
dengan awareness skill di dalam kesadaran sebagai mahluk Tuhan dan eksistensi
diri dan pengembangan social skill melalui Refleksi.
Pendidikan Religiositas mempergunakan
pendekatan pendidikan refleksi (Paradigma Pedidikan Refleksi). Refleksi
mengibaratkan adanya tiga unsur utama sebagai satu kesatuan di dalam proses
pembelajarannya, yaitu : pengalaman, refleksi dan aksi. Di dalam pengembangan
refleksi ini berbagai aspek kecakapan dikembangkan. Aspek tersebut meliputi [5]:
§
Aspek hubungan diri dengan orang lain disekitarnya. Aspek ini merupakan bagian
penting dari refleksi, dimana individu atau kelompok secara pribadi melihat
hubungannya dengan orang lain, dengan siapa individu merasa diri bersatu berdasarkan
latar belakang sejumlah tujuan dan arti yang dimiliki bersama. Hubungan dengan
orang lain, merupakan kemampuan kompetensi interpersonal yang paling mendasar.
§
Aspek hubungan diri dengan realitas sekitar. Aspek ini merupakan kemampuan
individu dalam menafsirkan dan menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman
yang berlangsung dalam kehidupannya yang majemuk dan kompleks. Hubungan dengan
realitas hidup membawa setiap individu untuk menafsirkan secara integral dan
mencoba mengkaitkan apa yang dialaminya dengan struktur kepercayaan yang telah
dibentuknya.
§ Aspek hubungan diri dengan nilai. Aspek ini merupakan kemampuan individu melihat seluruh nilai dan kekuatan yang merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi diri dan sesama yang dapat menjadi acuan hidup individu tersebut, seperti kesehatan, kekuasaan, karier, sukses, kreativitas, penyerahan diri pada Tuhan, dan sebagainya yang semuanya bisa menjadi nilai inti dan daya gerak hidup seseorang. Daya gerak itu mempengaruhi individu secara mendasar, mempengaruhi perilaku, orientasi berpikir dan sikapnya.
§ Aspek hubungan diri dengan nilai. Aspek ini merupakan kemampuan individu melihat seluruh nilai dan kekuatan yang merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi diri dan sesama yang dapat menjadi acuan hidup individu tersebut, seperti kesehatan, kekuasaan, karier, sukses, kreativitas, penyerahan diri pada Tuhan, dan sebagainya yang semuanya bisa menjadi nilai inti dan daya gerak hidup seseorang. Daya gerak itu mempengaruhi individu secara mendasar, mempengaruhi perilaku, orientasi berpikir dan sikapnya.
c. Sedangkan pengembangan thingking skill dan academik skill menjadi pengembangan yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai pengembangan diatas. Pengembangan itu tampak di dalam segala proses pembelajaran yang dilakukan dengan berbagai tugas dan aktivitasnya.
Kepustakaan
Agus Cremers. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W. Fowler. Yogyakarta: Kanisius
Agus Cremers. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W. Fowler. Yogyakarta: Kanisius
Belen, S. (2003). Makalah Apa, mengapa
dan Bagaiamana KBK. Jakarta: Pusat Kurikulum BPP Departemen pendidikan
Nasional.
Depdiknas, (2002), Ringkasan Kegiatan
Belajar Mengajar, Jakarta: Puskur-Balitbang Diknas.
Depdiknas, (2002), Ringkasan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah, Jakarta: Puskur-Balitbang Diknas
Depdiknas, (2002), Ringkasan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah, Jakarta: Puskur-Balitbang Diknas
Fransisca Sandra Palupi. (2001). Pola
Pendampingan Animasi Religiositas Kaum Muda untuk Pembentukan Sikap Beragama
yang Inklusif, proposal skripsi, Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
Masdjudi, MA. (2003). Penilaian
Portofolio. Jakarta: Pusat Kurikulum BPP Departemen pendidikan Nasional.
Mansour Fakih, dkk. (2001). Pendidikan
Populer; Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[1] dikembangkan dari: Belen, S.
(2003). Makalah Apa, mengapa dan Bagaiamana KBK. Jakarta: Pusat Kurikulum BPP
Departemen pendidikan Nasional. dan Masdjudi, MA. (2003).
Penilaian Portofolio. Jakarta: Pusat Kurikulum BPP Departemen pendidikan
Nasional.
[2] dikembangkan dari, Depdiknas,
(2002), Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar, Jakarta: Puskur-Balitbang Diknas.
dan Depdiknas, (2002), Ringkasan Pengelolaan Kurikulum
Berbasis Sekolah, Jakarta: Puskur-Balitbang Diknas.
[4] dikembangkan dari Fransisca Sandra
Palupi. (2001). Pola Pendampingan Animasi Religiositas
Kaum Muda untuk Pembentukan Sikap Beragama yang Inklusif, proposal skripsi,
Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
[5] dikembangkan dari
Agus Cremers. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W.
Fowler. Yogyakarta: Kanisius.
0 komentar:
Posting Komentar