PENDIDIKAN RELIGIOSITAS 2

Pengantar [1]
Pertama, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi peluang untuk mengenalkan siswa kepada proses penemuan makna terkait dengan sintesis yang progresif dan koheren antara pengalaman akan Tuhan/religiositas (fides qua) dan isi pesan agama/religi (fides quae) melalui pembelajaran aktif di dalam Pendidikan Religiositas. Pendidikan Religiositas dalam pengembangannya melalui KBK, menjadi medium bagi upaya peningkatan pendidikan nilai-nilai religiositas yang lebih progresif. Kita sadari bersama, bahwa melalui KBK, siswa diajak kepada proses eksplorasi yang signifikan dengan pola-pola tidak terbatas pada lingkup ruang kelas, melainkan dimungkinkan sampai pengalaman siswa untuk mengenal hidupnya terkait dengan sosio religius dan sosio kultural yang konkret dan nyata. Pola pendekatan yang bervariasi dapat dicoba diterapkan dalam kesatuan pembelajaran. Pendampingan siswa tidak hanya terbatas kepada aspek pengetahuan, tetapi sampai kepada upaya pemahaman yang bersifat kenousis (menyapa batin) dan mengembangkan nilai-nilai etis dan moral. Maka ruang kelas tidak menjadi satu-satunya ruang belajar, melainkan dimungkinkan seluas-luasnya menjangkau pengalaman hidup sosio religius siswa.
Kedua, jika dilihat prospek kedepannya, paradigma KBK memberikan kesempatan yang luas bagi Pendidikan Religiositas untuk berkembang di sekolah. KBK memberikan kesempatan bagi guru dan siswa berinteraksi secara partisipatif dan utuh, baik dalam proses pembelajaran dan evaluasinya. Pendidikan Religiositas sendiri mempergunakan Paradigma Pedagogi Refleksi (PPR) sebagai proses pembelajarannya, dimana refleksi siswa menjadi muara yang penting untuk kompetensi dan evaluasi belajar. KBK melalui evaluasi belajar dengan mempergunakan portofolio menjadi kesempatan yang luas bagi Pendidikan Religiositas dalam pengembangan PPR nya. Kesempatan itu didasari bahwa portofolio memungkinkan guru menilai seluruh kompetensi belajar siswa secara utuh, dan siswa pun berpartisipasi penuh didalamnya. Melalui PPR siswa berupaya memberikan refleksinya dalam penerapan model pendekatan apapun, baik tertulis, dalam bentuk berbagi pengalaman, pengolahan pengalaman langsung dengan keterlibatan, pendekatan ekspresi pengungkapan refleksi melalui seni, dan masih banyak hal yang dapat dimungkinkan.

Ketiga, Pendidikan Religiositas merupakan salah satu pendidikan yang mengupayakan treatment positif penyadaran mengenai pluralitas, multikulturalitas budaya dan religi atau agama. Kepentingan ini merupakan wujud dari tujuan pendidikan untuk mengajak siswa sampai kepada kesadaran sikap beragama yang dewasa. Pengembangan pendidikan yang mendasar pada kedewasaan berpikir akan penghargaan kemajemukan religi dan budaya menjadi sangat penting untuk menjadi kompetensi siswa dewasa ini. Begitu juga, Pendidikan Religiositas disamping bertujuan mengembangkan pendidikan akan kesadaran mengenai pluralitas tersebut, juga merupakan pendidikan yang mengajak siswa peka terhadap permasalahan sosial, moral dan budaya disekitarnya. Maka aspek refleksi menjadi bagian penting di dalam pengolahan pembelajarannya. Hal tersebut diupayakan agar siswa mampu mengembangkan kedewasaan berpikir dalam melihat situasi hidup di sekitarnya dan itu sesuai dengan apa yang menjadi visi dan misi dari KBK itu sendiri.


2. Pendidikan Religiositas dan Aktivitas Pembelajaranya dalam KBK [2].
Pendidikan Religiositas tidak dapat dilepaskan dari komponen proses pembelajaran secara utuh di sekolah. Untuk itu, berbagai prinsip-prinsip belajar menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan pula. Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman atas berbagai nilai, pengetahuan dan berbagai ketrampilan yang harus dikuasai. Oleh karena itu, guru perlu memberikan motivasi dan menjadi fasilitator siswa untuk memanfaatkan segenap potensinya dalam membangun gagasan. Dalam konteks itu tanggung jawab belajar ada pada diri siswa sendiri. Sementara itu, guru bertanggung jawab menciptakan situasi dan suasana yang mendorong terjadinya prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.
Prinsip-prinsip yang perlu menjadi usaha Pendidikan Religiositas untuk mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip KBK adalah sebagai berikut:
a. Berpusat pada siswa
Kegiatan belajar seharusnya berpusat pada siswa. Siswa menjadi pusat proses belajar karena berbagai segi yang melatar belakanginya. Pertama, adalah segi keberagaman siswa. Keragaman tersebut meliputi keberagama kemampuan, bakat, minat, sikap, maupun latar belakang keluarga. Oleh karena itu kegiatan belajar hendaknya memperhatian keragaman siswa tersebut melalui berbagai program-programnya. Kedua, prinsip belajar adalah menggali potensi diri sendiri. Maka, proses belajar akan berhasil jika siswa termotivasi secara pribadi, proses belajar harus berpusat pada kesadaran diri siswa sendiri. Pendidikan Religiositas mencoba mengangkat keberagaman latar belakang agama siswa di dalam pengolahan pembelajarannya, begitu juga melalui metode refleksi, siswa diberi kebebasan sebagai subyek belajar untuk mengenali, memahami dan menginternalisasi suatu nilai dan pengetahuan.
b. Belajar dengan mengalami dan melakukan
Menurut berbagai penelitian, proses belajar akan semakin berhasil jika mengemas pembelajarannya dengan melakukan berbagai hal yang nyata dan konkret. Prinsip dalam KBK, proses belajar dengan mengalami dan melakukan mendapat porsi yang tinggi. Artinya para siswa tidak hanya dicekoki atau sekedar transfer dengan sejumlah informasi melalui metode ceramah, akan tetapi mereka justru ditantang untuk lebih banyak mempraktekan konsep atau teori dan nilai dalam kegiatan pembelajaran untuk hidupnnya sehari-hari. Pendidikan Religiositas melalui tahap pembelajaran pra-aksi dan aksi, ingin mengoptimalkan prinsip belajar siswa untuk sampai kepada proses mengalami dan melakukan berbagai nilai yang telah dipelajari.
c. Mengembangkan kemampuan social
Pemahaman siswa akan lebih mudah jika mereka difasilitasi untuk mengemukakan berbagai gagasannya terhadap siswa lain dan guru. Melalui langkah seperti ini, interaksi antara siswa dengan lingkungan sosialnya akan semakin kuat. Oleh karena itu, metode diskusi, saling bertanya, dan saling menjelaskan akan memupuk kemampuan siswa mengkomunikasikan gagasannya. Melalui metode tersebut para siswa dilatih untuk menerima dan menghargai pendapat orang lain serta tidak memaksakan pendapatnya sendiri. Pendidikan Religiositas melalui diskusi dan sharing pengalaman, ingin mengajak siswa kepada proses belajar ketrampilan sosial/interpersonal tersebut. Pada proses itu siswa dihadapkan pada pluralitas agama dan berbagai kemajemukan karakter rekan sebayanya. Begitu juga ketika siswa harus dihadapkan pada tugas yang menyangkut aktivitas kelompok dan pribadi yang berhubungan dengan agamanya, pengalaman kemampuan sosial itu dikembangkan. Diharapkan dari hal itu semua, siswa belajar untuk menghargai orang lain bukan dari “kesamaan” melainkan dari kemajemukan.
d. Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah eksistensial.
Rasa ingin tahu dan imajinasi merupakan modal dasar dari sikap peka, kritis, mandiri, dan kreatif yang perlu dikembangkan secara optimal dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Begitu juga, keinginan akan makna dan pengalaman akan suatu yang eksistensial merupakan juga keinginan yang mendasar dari setiap siswa yang juga perlu dikembangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari hakekat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan. Pendidikan Religiositas merupakan pendidikan yang menggali secara mendasar unsur-unsur pengalaman keingintahuan, imajinasi dan fitrah eksistensial tersebut. Unsur keingintahuan tergali dari berbagai upaya apresiasi melalui berbagai kegiatan kelompok dan diskusi yang dilakukan. Begitu juga imanjinasi semakin dikembangkan ketika siswa diajak untuk mengekspresikan segala ide dan gagasan yang ditemukan. Sedangkan fitrah eksistensial, dikembangkan ketika siswa diajak untuk berefleksi atas berbagai nilai yang ditemukan.
e. Mengembangkan keterampilan ilmiah.
Ketrampilan ilmiah perlu dilatih sejak dini, sehingga para siswa akan termotivasi untuk secara aktif mencari jawaban atas permasalahannya dengan prosedur ilmiah. Dalam hal ini, kegiatan belajar perlu dipilih dan dirancang agar mampu mendorong dan melatih siswa untuk mampu mengidentifikasi dan memecahkannya dengan menggunakan kemampuan kognitif dan meta kognitif. Belajar merupakan proses mengembangkan ketrampilan ilmiah, dimana siswa diajak untuk berpikir dengan mempergunakan berbagai logika, analisa dan sintesa. Pendidikan Religiositas disamping mengembangkan aspek refleksi, mengembangkan juga segi keilmiahan melalui penalaran logis ketika berdiskusi maupun menyusun tugas.
f. Mengembangkan kreatifitas siswa
Keharusan untuk mengembangkan kreatifitas siswa, terletak pada prinsip bahwa siswa memiliki potensi yang berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari pola pikir, daya imajinasi, fantasi, dan hasil karya siswa. Untuk itu kegiatan belajar perlu dipilih dan dirancang agar memberikan kesempatan dan kebebasan berkreasi secara berkesinambungan. Pendidikan Religisoitas melalui berbagai pendekatan yang bervariasi, diharapkan mampu mengembangkan kreativitas siswa. Metode ekspresi ide dan gagasan dengan berbagai sarana dapat memperkaya pengembangan kreatifitas siswa. Begitu juga dengan penugasan yang juga mempergunakan berbagai sarana presentasi hasil laporan dapat memperkembangkan kreativitas tersebut.
g. Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi
Penggunaan ilmu dan teknologi dalam kehidupan siswa perlu diperkenalkan sejak dini. Penggunaan perangkat multi media dalam proses pembelajaran, merupakan salah satu bentuk pengenalan terhadap ilmu dan teknologi, disamping, penggunaan teknologi tepat guna dalam memberikan contoh dari materi pelajaran yang disajikan. Melalui Pendidikan Religiositas perlu diupayakan agar siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan berbagai pendekatan dalam proses belajar untuk mempergunakan tehnologi, misalnnya mengambil bahan diskusi dari internet, apresiasi film, eskpresi ide melalui film dan lain sebagainya.
h. Menumbuhkan kesadaran pendidikan berbangsa (civic education)
Kegiatan belajar perlu memberikan wawasan nilai-nilai moral dan sosial yang dapat membekali siswa agar menjadi warga negara dan masyarakat yang bertanggung jawab. Sikap akan kecintaan tanah air, penghargaan akan hak asasi manusia, kesadaran partisipatif sebagi warga masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan kesadaran akan pluralitas untuk perdamaian menjadi sesuatu yang penting untuk ditumbuhkan. Pendidikan Religiositas melalui berbagai materi bahasan mengenai kerukunan umat beragama, hak asasi manusia, keadilan dan perdamaian merupakan sarana penting untuk mengajak siswa kepada keasadaran itu.
i. Belajar sepanjang hayat
Konsepsi belajar sepanjang hayat perlu menjadi kesadaran bagi setiap siswa. Maka kegiatan belajar harus mampu membekali siswa untuk menumbuhkan rasa percaya diri, keingintahuan, kemampuan memahami orang lain, kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama sehingga mampu mendorong siswa yang bersangkutan terus belajar, baik formal maupun informal di dalam maupun di luar kelas. Pendidikan Religiositas, melalui pendekatan refleksi dan aktivitas aksi ingin mengusahakan suasana proses belajar sepanjang hayat itu. Siswa diajak untuk selalu belajar dari pengalaman, dari berbagai sarana, dari berbagai kejadian dan peristiwa hidup, dari orang lain, dari lingkungan, dari tokoh agama dan berbagai hal yang tidak terbatas pada ruang kelas semata.
j. Perpaduan kemajuan dan prestasi, kerjasama, dan solidaritas
Proses belajar yang baik, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan semangat berkompetisi yang sehat untuk memperoleh kemajuan dan prestasi, semangat bekerjasama dengan orang lain, dan menumbuhkan rasa solidaritas untuk saling membantu dalam proses saling belajar. Pendidikan Religiositas mengusahakan upaya itu dengan penugasan, kerja kelompok, dan refleksi.

3. Pendidikan Religiositas dan kecakapan hidup (life skill) yang dikembangkan.
Dewasa ini pendidikan diharapkan mengacu kepada prinsip pendidikan berbasis luas (Broad Based Education). Hal itu dimaksudkan, bahwa penyelenggaraan pendidikan difokuskan pada kepentingan masyarakat luas. Dalam pilar pendidikan, yaitu learning to live together. Pendidikan harus mengantar siswa untuk menemukan masalahnya dan berproses bersama untuk menyelesaikanya. Pendidikan menjadi interaksi proses belajar yang lebih terintegrasi, dari upaya memetakan masalah sampai langkah kongkret yang nyata dan berimbas kepada segi demensi laku sosial budaya. Seorang tokoh Paulo Freire [3] menyatakan bahwa fitrah manusia yang sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukanlah penderita atau obyek. Manusia terpanggil untuk menjadi pelaku yang sadar dan bertindak untuk mengatasi dunia serta realitas hidupnya. Hakekat manusia adalah mencipta dan memahami keberadaan dirinya serta lingkungannya. Manusia memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengubah realitas hidupnya. Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas kehidupan, baik realitas sosial (obyektif) maupun realitas hidupnya (subyektif). Maka pendidikan harus mengajak siswa belajar untuk menanggapi dan menggali masalah bersama. Pendidikan merupakan sebuah wacana hadap masalah, yang memuat penyadaran dan sampai kepada praksis kehidupan, dialogis dan emansipatoris untuk memberikan banyak ruang partisipasi aktif siswa.
Pendidikan harus juga berorientasi pada peningkatan kualitas akademik (High-Based Education). Maka pendidikan berupaya mengembangkan segala potensi dan kompetensi siswa Namun, yang perlu menjadi perhatian, bahwa segala potensi akademik yang dikembangkan merupakan usaha agar siswa nantinya menguasai kecakapan untuk digunakan bagi hidupnya. Kecakapan hidup atau life skill merupakan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga mampu mengatasinya. Kecakapan hidup itu merupakan muara dari setiap pembelajaran di sekolah. Memang, kecakapan hidup itu tidak dapat dilihat dengan waktu yang relatif singkat, namun dilihat dalam kurun waktu perkembangan seseorang mencapai kedewasaannya ketika siswa hidup di tengah masyarakat.
Pendidikan Religiositas mengacu pada konsep pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup terkait dengan segi penyadaran pemahaman dan pola pikir atau awareness skill, walaupun juga tidak meninggalkan kecakapan hidup lain yang penting: meliputi social skill dan academic skill. Kita sadari bersama, bahwa pendidikan harus menghantar siswa untuk memahami dan menghargai keberbedaan. Pendidikan harus menghantar siswa kepada keterbukaan batin untuk saling menghargai tradisi religi, dan menepis berbagai apologi dan upaya-upaya sovinisme dan fanatisme yang berlebihan. Pendidikan haruslah membuka kepada berbagai ideologi dan segala pandangan hidup sebagai keutuhan proses belajar siswa itu sendiri.
Kecakapan hidup yang dikembangkan di dalam Pendidikan Religiositas meliputi beberapa segi sebagai berikut:
a.    Pengembangan Personal Skill terkait dengan awareness skill di dalam pembentukan sikap dan pengalaman beragama yang inklusif[4].
§ Aspek pembentukan sikap beragama yang dewasa (inklusif) merupakan aspek penting yang diusahakan di dalam Pendidikan Religiositas. Aspek tersebut merupakan bagian dari religious consciusness (kesadaran beragama) dan religious experience (pengalaman beragama). Kesadaran beragama merupakan aspek penting di dalam pengolahan pembelajaran yang meliputi aspek kognitif (pengertian), dimana aspek ini meliputi proses untuk memahami sebuah realitas, mengenal, memahami dan memberi arti atau mempercayai sebuah kontruksi mengenai religi. Maka kesadaran beragama merupakan sebuah kegiatan yang bersifat terstruktur dan terorganisasi di dalam aspek mental seseorang. Aspek mental ini meliputi pengambilan persepektif diri, analisis, pertimbangan moral dan pengkontruksian diri. Maka Pendidikan Religiositas mengajak subyek didik untuk sampai kepada kesadaran beragama yang bersifat terbuka, melalui berbagai pengertian, pemahaman dan pengenalan akan realitas plural.
§ Sedangkan pengalaman beragama yang inklusif, merupakan aspek dari proses relasional antara diri, orang lain dan nilai-nilai religi yang dikontruksi di dalam pengalaman kehidupan sehari-hari seseorang yang peka terhadap segala pluralitas. Pengalaman beragama ini meliputi aspek afeksi dan konasi (kehendak) yang tidak hanya meliputi dimensi pengertian semata, melainkan sudah memasuki dimensi keyakinan atau kepercayaan eksistensial mengenai nilai-nilai religi atau agama yang dianut seseorang. Pengalaman beragama merupakan pengalaman ultim, dimana di dalamnya terkandung dimensi mendasar mengenai pengalaman-pengalaman beragama atau yang sering disebut sebagai pengalaman iman. Untuk itu pengalaman beragama merupakan pengalaman yang dikontruksi oleh seseorang secara utuh, baik dari segi kognitif, afeksi serta konasinya. Pengalaman beragama melalui Pendidikan Religiositas haruslah sampai kepada pengalaman beragama secara terbuka, memungkinkan subyek didik dari aspek afeksi dan konasi sampai kepada keyakinan akan keterbukaan bermacam-macam latar belakang religi. Hal ini haruslah dimungkinkan secara serius melalui berbagai pengalaman perjumpaan dengan berbagai ruang agama untuk berdialog dan bekerja sama.
b.    Pengembangan Personal Skill terkait dengan awareness skill di dalam kesadaran sebagai mahluk Tuhan dan eksistensi diri dan pengembangan social skill melalui Refleksi.
Pendidikan Religiositas mempergunakan pendekatan pendidikan refleksi (Paradigma Pedidikan Refleksi). Refleksi mengibaratkan adanya tiga unsur utama sebagai satu kesatuan di dalam proses pembelajarannya, yaitu : pengalaman, refleksi dan aksi. Di dalam pengembangan refleksi ini berbagai aspek kecakapan dikembangkan. Aspek tersebut meliputi [5]:
§ Aspek hubungan diri dengan orang lain disekitarnya. Aspek ini merupakan bagian penting dari refleksi, dimana individu atau kelompok secara pribadi melihat hubungannya dengan orang lain, dengan siapa individu merasa diri bersatu berdasarkan latar belakang sejumlah tujuan dan arti yang dimiliki bersama. Hubungan dengan orang lain, merupakan kemampuan kompetensi interpersonal yang paling mendasar.
§ Aspek hubungan diri dengan realitas sekitar. Aspek ini merupakan kemampuan individu dalam menafsirkan dan menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang berlangsung dalam kehidupannya yang majemuk dan kompleks. Hubungan dengan realitas hidup membawa setiap individu untuk menafsirkan secara integral dan mencoba mengkaitkan apa yang dialaminya dengan struktur kepercayaan yang telah dibentuknya.
§ Aspek hubungan diri dengan nilai. Aspek ini merupakan kemampuan individu melihat seluruh nilai dan kekuatan yang merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi diri dan sesama yang dapat menjadi acuan hidup individu tersebut, seperti kesehatan, kekuasaan, karier, sukses, kreativitas, penyerahan diri pada Tuhan, dan sebagainya yang semuanya bisa menjadi nilai inti dan daya gerak hidup seseorang. Daya gerak itu mempengaruhi individu secara mendasar, mempengaruhi perilaku, orientasi berpikir dan sikapnya.

c. Sedangkan pengembangan thingking skill dan academik skill menjadi pengembangan yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai pengembangan diatas. Pengembangan itu tampak di dalam segala proses pembelajaran yang dilakukan dengan berbagai tugas dan aktivitasnya.


Kepustakaan
Agus Cremers. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W. Fowler. Yogyakarta: Kanisius
Belen, S. (2003). Makalah Apa, mengapa dan Bagaiamana KBK. Jakarta: Pusat Kurikulum BPP Departemen pendidikan Nasional.
Depdiknas, (2002), Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar, Jakarta: Puskur-Balitbang Diknas.
Depdiknas, (2002), Ringkasan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah, Jakarta: Puskur-Balitbang Diknas
Fransisca Sandra Palupi. (2001). Pola Pendampingan Animasi Religiositas Kaum Muda untuk Pembentukan Sikap Beragama yang Inklusif, proposal skripsi, Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
Masdjudi, MA. (2003). Penilaian Portofolio. Jakarta: Pusat Kurikulum BPP Departemen pendidikan Nasional.
Mansour Fakih, dkk. (2001). Pendidikan Populer; Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

[1] dikembangkan dari: Belen, S. (2003). Makalah Apa, mengapa dan Bagaiamana KBK. Jakarta: Pusat Kurikulum BPP Departemen pendidikan Nasional. dan Masdjudi, MA. (2003). Penilaian Portofolio. Jakarta: Pusat Kurikulum BPP Departemen pendidikan Nasional.
[4] dikembangkan dari Fransisca Sandra Palupi. (2001). Pola Pendampingan Animasi Religiositas Kaum Muda untuk Pembentukan Sikap Beragama yang Inklusif, proposal skripsi, Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.













SHARE ON:

Hello guys, I'm Tien Tran, a freelance web designer and Wordpress nerd. Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam, eaque ipsa quae.

    Blogger Comment

0 komentar: